Halo. Selamat Hari Minggu.
Analisis kali ini lagi-lagi tentang
perempuan. Objek analisisnya adalah lirik lagu Agnes Monica yang berjudul
Teruskanlah. Lagu ini bisa dianggaplah ya sebuah anthem bagi sebagian perempuan
yang merasa kekasihnya terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Salah satu
perempuan yang saya kenal suka dengan lagu ini sampai overplayed. Ngahaha…
Okey, analisis kali ini
menggunakan sudut pandang eksistensialisme milik nyonya Simone de Beauvoir. Dalam
bukunya The Second Sex, filsuf eksistensialisme
dan juga feminis asal Perancis itu membahas bagaimana perempuan selalu menjadi
objek, the Other, di dunia patriarkis ini.
Sebelum delving into the
analysis, mari kita tengok-tengoklah dulu penggalan lirik lagu Teruskanlah itu:
Pernahkah kau bicara
Tapi tak di dengar
Tak di anggap
Sama sekali
Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak di beri
Kesempatan
Bagian lirik sebelah sini
mencerminkan bahwa perempuan itu tidak penting dan selalu menjadi sumber
gara-gara. Perempuan, pada bagian ini, digambarkan sebagai apa yang de Beauvoir
bilang the Other, “the inessential as opposed to the essential”, the Self,
laki-laki. Karena posisinya sebagai the inessential, yang tidak penting, itulah
perempuan ini tidak didengar dan tidak dianggap oleh kekasihnya.
Kenapa perempuan ini ‘disalahkan’
dan ‘tak diberi kesempatan’? De Beauvoir dalam The Second Sex mengutip Montaigne: “It is easier to accuse one sex
than to excuse the other”. Sikap arogansi dan kurang respeknya laki-laki
terhadap perempuan disebabkan oleh kekhawatirannya atas kehilangan kekuasaan
dan kekuatan, seperti yang diutarakan De Beauvoir: “…indeed no one is more
arrogant towards women, more aggressive or scornful, than the man who is
anxious about his virility.”
Sebelum lanjut ke reffrain lagu, mari
telaah verse keduanya dulu:
Kau tak butuh diriku
Aku patung bagimu
Cinta bukan
Kebutuhan mu
Hubungan perempuan dan laki-laki
itu merupakan hubungan simbiosis. Naturally, mereka saling membutuhkan satu
sama lain atau interdependen. De Beauvoir menyebutkan dua kebutuhan laki-laki
yang membuatnya tergantung kepada perempuan: sexual desire dan the desire for
offspring. Maka pada dasarnya, ketergantungan laki-laki pada perempuan adalah
untuk pemenuhan hasrat primordial seperti sex. Makanya, perempuan di lagu ini
bilang kalau cinta itu bukan kebutuhan laki-laki. Well, maybe he needs more,
Agnes… :D
Lalu apa yang membuat perempuan
tergantung kepada laki-laki? De Beauvoir berpendapat bahwa laki-laki mampu menyediakan
perlindungan material kepada perempuan. Hal itu terjadi karena beberapa faktor:
biologis, psikis, dan ekonomis. Dalam dunia patriarkis ini laki-laki menempati
posisi yang superior atas tiga aspek tadi, sedangkan perempuan, si inferior, membutuhkan
laki-laki sebagai pelindungnya karena keterbatasan biologis, psikis, dan
ekonomisnya. Menurut eksistensialis, setiap orang , termasuk perempuan, yang
terlahir ke dunia memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri
regardless their condition, including their bodies capability. Ketergantungan
kepada laki-laki dan ketidaksanggupan perempuan untuk meraih kebebasan
sendirilah merupakan faktor utama terjadinya bad faith.
Maka dari itu, mari lanjut ke bagian
reffrainnya…
Kuhidup dengan siapa
Ku tak tau kau siapa
Kau kekasihku tapi
Orang lain bagiku
Kau dengan dirimu saja
Kau dengan duniamu saja
Teruskan lah.. Teruskan lah
Kau begitu
De Beauvoir berkata begini:
“For woman, the absence of her
lover is always torture… As soon as he looks at anything other than herself, he
frustrates her…; away from him, she is dispossessed, even when seated at her
side reading or whatever, he is abandoning her, betraying her.”
Inilah siksaannya. Perempuan selalu
merasa diabaikan karena perhatian laki-laki selalu teralih darinya. Bahkan
ketika sedang bersamanya namun kekasihnya itu melakukan kegiatan lain, seperti
membaca misalnya, perempuan selalu merasa diabaikan. Perempuan dalam lagu ini
pun merasa tidak dihiraukan hingga ia tidak mengenal kekasihnya sendiri. Tapi
meskipun begitu, “teruskanlah…”, seolah perempuan itu nerimo-nerimo saja
diperlakukan seperti itu (ckckck…). Itulah yang de Beauvoir sebut dengan women’s
bad faith, kegagalan perempuan dalam meraih kebebasannya sendiri karena takut
kehilangan apa yang telah diraihnya dari eksistensi laki-laki, yaitu
perlindungan. Memang menarik punya kontrol penuh atas kehidupan ini, tapi untuk
mengorbankan keamanan, perlindungan, dan kenyamanan yang laki-laki beri, terasa
riskan untuk perempuan mencapai kebebasannya sendiri di dunia yang didominasi
oleh laki-laki ini.
Maka kesimpulannya, perempuan
yang digambarkan di lagu ini adalah perempuan yang, menurut eksistensialis,
terjangkit bad faith. Karena ke-otherness-annya, perempuan menjadi manusia yang
malafide, hidupnya digariskan,
bersedia menjadi objek, dan melarikan diri dari tanggung jawab untuk mencapai
kebebasannya sendiri. Makanya meskipun diabaikan, diremehkan, dan tidak
dihiraukan oleh kekasihnya, she doesn’t mind, she keeps saying “teruskanlah…”
(it’s okey yang penting you kasih I money buat shopping-shopping) :P.
Disclaimer: Tulisan ini bukan
berarti menyarankan perempuan untuk hidup bebas tanpa didampingi laki-laki,
atau menyarankan agar menjadi perawan sampai tua, engga, bukan gitu. Bukan
seperti yang para post-feminis pikirin hahaha, for this is MERELY an analysis. Dan
saya rasa Simone de Beauvoir juga tidak menyarankan seperti itu dalam The Second Sex. Karena pada kenyataannya
juga dia kan in a life-long relationship dengan rekan sesama eksistensialis,
Jean-Paul Sartre.
Satu quote de Beauvoir yang saya
suka:
“On the day when it will be
possible for woman to love not in her weakness but in strength, not to escape
herself but to find herself, not to abase herself but to assert herself -- on
that day love will become for her, as for man, a source of life . . .”