Sunday, 17 November 2013

Kebahagiaan kecil di sudut kamar



Di bawah garland dan judul album Lady GaGa ini kita pernah bertukar canda dan saling mengecup kening.
Sejak saat itu, definisi kebahagiaan adalah sebuah momen ketika aku memandang matamu, aku bisa melihat melaluinya, jiwamu.


Kebahagiaan itu dimana-mana.
Punyaku, salah satunya, ada di sudut kamar.

---

Under this garland and Lady Gaga’s album title, we have been joking around and kissing each other forehead.
From that moment on, happiness is defined as: a moment when I see your eyes and I can see, right through them, your soul.

I know that happiness is around the corner; always has been, always will be.
Funny thing is: thanks to you, I always find mine on the corner of my bedroom.
 


Tuesday, 23 April 2013

I Write Script, Not Tragedies

Hi.
If you are wondering, I'm still alive. And if you're still wondering, I'm doing things in the world. And now, I get paid [long dramatic pause] for scriptwriting!

YAY!

Yes, I got a job at one of radio station in Bandung. Thanks to the apprentice program, I'm now hired as their new copywriter. Lucky me, the word is not unfamiliar for I got copywriting subject back when I studied in classroom. Another lucky is I didn't get plunged to a world that requires me to formally get dressed and to put on make-ups. This job requires me to squeeze all the shit out from the right hemisphere of my brain and sort it out in the form of words. Right, I'm dealing with words.

Plus, I always thought that the job is kind of cool. Right? Copywriting. BOOM! How's that sound? Haha...

By the way, wish me luck, and I, too, wish you all the luck in the world =)

Thursday, 14 June 2012

Monologue Analogue








Yashica FX-3 Super 2000 with B/W negative film ISO100
taken around bandung by citra and velentina

Sunday, 13 May 2012

Agnes Monica’s Teruskanlah: Bad Faith of a Woman as the Other


Halo. Selamat Hari Minggu.

Analisis kali ini lagi-lagi tentang perempuan. Objek analisisnya adalah lirik lagu Agnes Monica yang berjudul Teruskanlah. Lagu ini bisa dianggaplah ya sebuah anthem bagi sebagian perempuan yang merasa kekasihnya terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Salah satu perempuan yang saya kenal suka dengan lagu ini sampai overplayed. Ngahaha…

Okey, analisis kali ini menggunakan sudut pandang eksistensialisme milik nyonya Simone de Beauvoir. Dalam bukunya The Second Sex, filsuf eksistensialisme dan juga feminis asal Perancis itu membahas bagaimana perempuan selalu menjadi objek, the Other, di dunia patriarkis ini.

Sebelum delving into the analysis, mari kita tengok-tengoklah dulu penggalan lirik lagu Teruskanlah itu:

Pernahkah kau bicara
Tapi tak di dengar
Tak di anggap
Sama sekali


Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak di beri
Kesempatan

Bagian lirik sebelah sini mencerminkan bahwa perempuan itu tidak penting dan selalu menjadi sumber gara-gara. Perempuan, pada bagian ini, digambarkan sebagai apa yang de Beauvoir bilang the Other, “the inessential as opposed to the essential”, the Self, laki-laki. Karena posisinya sebagai the inessential, yang tidak penting, itulah perempuan ini tidak didengar dan tidak dianggap oleh kekasihnya.

Kenapa perempuan ini ‘disalahkan’ dan ‘tak diberi kesempatan’? De Beauvoir dalam The Second Sex mengutip Montaigne: “It is easier to accuse one sex than to excuse the other”. Sikap arogansi dan kurang respeknya laki-laki terhadap perempuan disebabkan oleh kekhawatirannya atas kehilangan kekuasaan dan kekuatan, seperti yang diutarakan De Beauvoir: “…indeed no one is more arrogant towards women, more aggressive or scornful, than the man who is anxious about his virility.”

Sebelum lanjut ke reffrain lagu, mari telaah verse keduanya dulu:

Kau tak butuh diriku
Aku patung bagimu
Cinta bukan
Kebutuhan mu

Hubungan perempuan dan laki-laki itu merupakan hubungan simbiosis. Naturally, mereka saling membutuhkan satu sama lain atau interdependen. De Beauvoir menyebutkan dua kebutuhan laki-laki yang membuatnya tergantung kepada perempuan: sexual desire dan the desire for offspring. Maka pada dasarnya, ketergantungan laki-laki pada perempuan adalah untuk pemenuhan hasrat primordial seperti sex. Makanya, perempuan di lagu ini bilang kalau cinta itu bukan kebutuhan laki-laki. Well, maybe he needs more, Agnes… :D

Lalu apa yang membuat perempuan tergantung kepada laki-laki? De Beauvoir berpendapat bahwa laki-laki mampu menyediakan perlindungan material kepada perempuan. Hal itu terjadi karena beberapa faktor: biologis, psikis, dan ekonomis. Dalam dunia patriarkis ini laki-laki menempati posisi yang superior atas tiga aspek tadi, sedangkan perempuan, si inferior, membutuhkan laki-laki sebagai pelindungnya karena keterbatasan biologis, psikis, dan ekonomisnya. Menurut eksistensialis, setiap orang , termasuk perempuan, yang terlahir ke dunia memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri regardless their condition, including their bodies capability. Ketergantungan kepada laki-laki dan ketidaksanggupan perempuan untuk meraih kebebasan sendirilah merupakan faktor utama terjadinya bad faith.

Maka dari itu, mari lanjut ke bagian reffrainnya…

Kuhidup dengan siapa
Ku tak tau kau siapa
Kau kekasihku tapi
Orang lain bagiku


Kau dengan dirimu saja
Kau dengan duniamu saja
Teruskan lah.. Teruskan lah
Kau begitu

De Beauvoir berkata begini:
“For woman, the absence of her lover is always torture… As soon as he looks at anything other than herself, he frustrates her…; away from him, she is dispossessed, even when seated at her side reading or whatever, he is abandoning her, betraying her.”

Inilah siksaannya. Perempuan selalu merasa diabaikan karena perhatian laki-laki selalu teralih darinya. Bahkan ketika sedang bersamanya namun kekasihnya itu melakukan kegiatan lain, seperti membaca misalnya, perempuan selalu merasa diabaikan. Perempuan dalam lagu ini pun merasa tidak dihiraukan hingga ia tidak mengenal kekasihnya sendiri. Tapi meskipun begitu, “teruskanlah…”, seolah perempuan itu nerimo-nerimo saja diperlakukan seperti itu (ckckck…). Itulah yang de Beauvoir sebut dengan women’s bad faith, kegagalan perempuan dalam meraih kebebasannya sendiri karena takut kehilangan apa yang telah diraihnya dari eksistensi laki-laki, yaitu perlindungan. Memang menarik punya kontrol penuh atas kehidupan ini, tapi untuk mengorbankan keamanan, perlindungan, dan kenyamanan yang laki-laki beri, terasa riskan untuk perempuan mencapai kebebasannya sendiri di dunia yang didominasi oleh laki-laki ini.

Maka kesimpulannya, perempuan yang digambarkan di lagu ini adalah perempuan yang, menurut eksistensialis, terjangkit bad faith. Karena ke-otherness-annya, perempuan menjadi manusia yang malafide, hidupnya digariskan, bersedia menjadi objek, dan melarikan diri dari tanggung jawab untuk mencapai kebebasannya sendiri. Makanya meskipun diabaikan, diremehkan, dan tidak dihiraukan oleh kekasihnya, she doesn’t mind, she keeps saying “teruskanlah…” (it’s okey yang penting you kasih I money buat shopping-shopping) :P.


Disclaimer: Tulisan ini bukan berarti menyarankan perempuan untuk hidup bebas tanpa didampingi laki-laki, atau menyarankan agar menjadi perawan sampai tua, engga, bukan gitu. Bukan seperti yang para post-feminis pikirin hahaha, for this is MERELY an analysis. Dan saya rasa Simone de Beauvoir juga tidak menyarankan seperti itu dalam The Second Sex. Karena pada kenyataannya juga dia kan in a life-long relationship dengan rekan sesama eksistensialis, Jean-Paul Sartre.

Satu quote de Beauvoir yang saya suka:
“On the day when it will be possible for woman to love not in her weakness but in strength, not to escape herself but to find herself, not to abase herself but to assert herself -- on that day love will become for her, as for man, a source of life . . .”

Saturday, 12 May 2012

Journal Entry #1: On Writing



Well, it takes a lot of effort to feel good, doesn't it? Even one single tweet posted in trashy world of Twitter can get you sooo down low low brow joooow ha ha ha haa... But to lighten up? You'll need a bunch of guts.
Really, feeling good is a choice. It is definitely a choice. You can either let yourself drowned in the quicksand of your own head-made insecurity, or you can just stop giving a fuck and carry on.
In my case, I choose carrying on and getting over trivial things that are not worth thinking. So, I channel my energy to other things that bring me benefits.

Like writing...

Writing is a really good therapy. I feel my writing is getting evolved. It gets better from time to time. Writing journal and blogs like this really helps. I know it's a good idea to write, even for a damn crap like this. It's nice to pour all of my thought into writing and I can feel less stressed.

Writing helps me remember. I read it somewhere that you cannot rely on your memory, you have to write it down. Right. Writing is just like a photograph. It instills the present moments in a camera called language.

Writing helps me grow. I can evaluate my previous writing pieces and make a better one in the future.

Last but not least... Writing helps me feel good.