Wednesday 8 June 2011

Sedikit tentang Komodifikasi

Setiap hari Minggu saya, ayah dan ibu melaksanakan ritual kesehatan yang dinamakan Ke Punclut. Seperti Car Free Day, tiap hari Minggu, Punclut yang berada di kawasan Ciumbuleuit adalah tujuan wisata keluarga. Bedanya, Punclut tidak se-modern Car Free Day; tidak bernuansakan kehidupan urban dengan factory outlet di sepanjang jalannya, tidak ada komunitas sepeda fixie (nulisnya begitu bukan?), tidak ada anak-anak skate board, tidak ada penjual tiket pre-sale, dan tidak ada stand Maicih.
Punclut terkenal dengan kedai-kedai penjual makanan tradisional di puncaknya, dari sana mata kita dimanjakan dengan pemandangan Kota Bandung. Kedai-kedai itulah garis finish untuk saya, ayah dan ibu. Setelah letih berjalan menanjak, seperti biasa kami memesan nasi merah, ayam bakar, tempe, ikan asin, lalap, dan sambal.

Suatu Minggu, beberapa meter sebelum mencapai garis finish, ada satu spanduk yang membuat saya berharap saya tidak pernah membacanya. Spanduk itu bertuliskan "Melihat Pemandangan Bandung. Rp 1.000/orang". Hahaha, saya jadi heran, pihak yang menetapkan harga itu seolah-olah merekalah si pembuat pemandangan. Cukup WC Umum sajalah yang berbayar, masa pemandangan juga?

Fenomena itu, kata Paman Marx dalam bukunya Communist Manifesto, disebut Komodifikasi (Commodification). Komodifikasi adalah suatu proses transformasi suatu barang, jasa, atau ide (yang bukan komersial) menjadi suatu komoditas. Gampangnya, sesuatu yang awalnya tidak termasuk ke dalam area pasar berubah menjadi sesuatu yang komersial; menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Fenomena melihat pemandangan berbayar itu dapat termasuk kedalam contoh komodifikasi yang disebut sebagai privatisasi. Privatisasi menerapkan sistem 'user-pays', dimana, misalnya, kita bayar untuk layanan kesehatan dan pendidikan. Oh Tuhan, bahkan sekarang pemandangan pun menjadi komoditas untuk pihak yang berorientasikan uang. Pemandangan yang awalnya gratis, dilihat oleh kaum pemilik modal sebagai ladang meraup keuntungan. Makanya, untuk menikmati pemandangan di salah satu daerah Punclut, oleh pemilik tempat, kita dikenakan biaya 1000 rupiah.

Saya jadi ingat, waktu itu saya dengan teman-teman main ke daerah Dago, tepatnya di kawasan Stamford International School. Tempat dan pemandangannya bagus untuk berfoto ria. Dua teman saya kebetulan membawa kamera SLR digital sebagai media fotonya. Tujuan kami murni bersenang-senang, bukan untuk keperluan photoshoot cover album band atau foto pre-wedding. Saat berfoto-foto, tiba-tiba kami dihampiri oleh dua orang berseragam yang mengendarai motor trail. Salah satu teman saya ditanya-tanyai. Setelah dua orang berseragam ini pergi, teman saya bilang: KTP gue ditahan, kita harus bayar 15 ribu buat foto-foto di sini. WTF!

Kemarin, saya dan seorang teman saya ke KFC Sukawangi. Kebetulan saat itu KFC jadi tempat istirahat rombongan wisatawan luar kota. Setelah memesan makanan, kami memilih tempat duduk di lantai dua agar bisa merokok. Di seberang tempat kami duduk, seorang mba-mba yang tidak mengenakan seragam KFC menjadi penyedia makanan. Saya asumsikan dia adalah pekerja lepas. Hal itu juga merupakan contoh komodifikasi. Seperti pegawai KFC lainnya, mba-mba itu juga adalah komoditas, ia menjual 'pekerjaan wanitanya' dengan menyiapkan makanan agar mendapat upah.

Contoh komodifikasi lain adalah:
  • Fee paying services, saat orang-orang yang sukarela memadamkan kebakaran berubah menjadi buruh bayaran. (Jadi bertanya-tanya, apa orang-orang berseragam hijau yang mengaku-ngaku dari Greenpeace itu dibayar juga?)
  • Properti intelektual, hak cipta, paten dan harga yang dipasang pada informasi dan pengetahuan dalam cabang ilmu, industri, dan seni.
Menurut Dobie (2009), komodifikasi juga adalah pengaruh kapitalisme pada psikis konsumen yang menilai barang bukan lagi dari kegunaannya (use value), namun dari sign value dan exchange value. Contohnya, menurut pengertian saya, kita membayar bukan karena sepatu itu dipakai untuk menjadi alas kaki, tapi karena sepatu itu ber-merk asli Nike. Kita membayar bukan karena sesuatu itu berguna, namun untuk mengesankan orang lain. Kita membayar sesuatu untuk kita jual lagi dengan harga yang lebih tinggi.

Hmm... mau tidak mau saya jadi berpikir, apa jangan-jangan tujuan saya menuntut ilmu sampai setinggi perguruan tinggi agar kelak setelah lulus, setelah mendapat gelar, saya menjadi komoditas, seperti buruh?
Entahlah... liat ntar. haha.

Sumber dan bacaan lebih lanjut supaya bisa mengoreksi saya kalau-kalau saya salah hehe:
Dobie, Ann B. Theory Into Practice: An Introduction to Literary Criticism. Lafayette: University of Southwestern Lousiana, 2009.
http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Commodification

------------------------------------------------------------------------------------------------
*gara-gara baca Dobie*
[bulan juni tanggal sembilan pukul dua empat dua pagi oleh citra]

No comments:

Post a Comment