Thursday 28 April 2011

Kurang lebih lima tahun, sejak kelas dua SMA

Entah sudah berapa kali pertanyaan: "Kamu merokok?" dilontarkan kepadaku.
Oleh Ayah, pun oleh Ibu.

Entah sudah berapa kali jawaban: "Enggak." aku lontarkan.
Pada mereka berdua.

Dan aku bisa membaca, mereka membaca, bahwa aku berdusta.

Perdebatan itu tertunda, sampai saatnya mata-kepala mereka melihat sendiri puntung rokok terjepit diantara bibirku, asap dari tembakau yang dibakar mengepul bercampur dengan nafasku, bau nikotin semerbak menguap dari tubuhku, dan tidak ada lagi yang bisa aku tipu. Ayah, Ibu, diriku.

Seketika, saat itu, aku akan mengaku.

--------------------------------------------------------------------------------------------
suatu siang saat tidak ada siapa-siapa di rumah, pintu kamar terbuka, aroma nikotin memenuhi udara rumah, tiba-tiba Ibu pulang dan bertanya (lagi)

[kamis ke-empat di bulan april pukul satu siang lebih duabelas menit oleh citra]

Wednesday 27 April 2011

Ballad of a Leaf

Tersebutlah selembar daun yang bercita-cita menjadi sebuah batu
Ia lelah dihempas angin
Melayang-layang tak pasti di udara
Terombang-ambing aliran sungai yang muaranya entah di mana
Lama ia merindukan samudera
Namun tak ada yang mampu mempertemukannya

Sebagai daun ia lelah
Ia ingin menjadi batu
Yang zatnya tidak dapat ditembus angin
Yang padatnya lebih diakui air
Terkikis namun abadi
Tahan dan statis

Daun itu ingin jadi batu
Namun sejatinya ia tidak mampu

Ia hanya selembar daun
Yang kesanggupannya hanya sampai batas membatu

Diam

Di atas batu

-----------------------------------------------------------------------------------------------
[setengah sepuluh pagi di hari ke-27 di bulan april oleh citra]

Friday 22 April 2011

calm down, dadsky..

"Kak, belajar!" Ujar Ayah sambil lalu setelah melihat saya yang dari sore berada di depan komputer, smsan sambil ditemani Ballads of the Cliche.

Tiba-tiba saya merasa de javu.
Kata-kata itu biasanya diucapkan orang tua (orang tua saya) kepada anaknya (saya) tiap sore atau malam hari sebelum esoknya si anak pergi sekolah. Saat itu, belajar berarti mengerjakan PR, memeriksa PR, membaca buku paket (dulu sebutannya seperti itu), dan menghapal, menghapal pelajaran-pelajaran sekolah; rumus, tanggal-tanggal bersejarah, nama orang-orang penting, dsb.
Saya dibesarkan dalam pengertian belajar yang berarti: meningkatkan kualitas diri dalam bidang akademik.

Malam ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun saya meninggalkan bangku sekolah dasar, sekolah menengah, pertama dan atas, ayah mengucapkan kalimat imperatif itu lagi di tahun ketiga saya sebagai mahasiswa.

Malam ini, bagi saya, pengertian 'belajar' sudah tidak sama lagi.

Ingin saya memberi tahu Ayah, bahwa dalam setiap hembusan nafas, dalam setiap sudut yang saya lihat, dalam setiap aksara yang saya baca, dalam setiap suara yang saya dengar, dalam setiap momen yang otak saya rekam, dalam setiap tindakan dan interaksi, dari waktu membuka mata dan bahkan saat bermimpi...


...saya sedang belajar.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

[dua puluh dua April . sembilan malam lebih dua puluh empat menit . citra]

Wednesday 20 April 2011

Musik Bajigur dengan Katjie & Piering

Bagaimana ceritanya kalau Zsa Zsa Zsu-nya Rock N Roll Mafia dimainkan secara akustik?
Atau akan seperti apa bentuknya aransemen experimental rock Polypanic Room milik Polyester Embassy dikonversi ke dalam folk bernuansa etnik?

Itu baru dua dari empat lagu yang di-cover oleh Katjie & Piering di extended play-nya yang secara gratis dapat diunduh dari beberapa halaman web musik, yang indie tentu saja.

Meet Katjie & Piering. Consisting of Sigit from Tigapagi and Ayayay Sikelinci from Baby Eats Crackers assisted by company from Angsa dan Serigala and Karinding Attack, Katjie & Piering dengan indahnya menciptakan harmoni yang unik antara etnik folk dan pop dalam lagu milik Band-band Indie asal Bandung seperti Olive Tree, Homogenic, Polyester Embassy, dan Rock N Roll Mafia.

Ada 5 lagu di EP itu. Empat dari lima merupakan lagu-lagu cover, satu lagu terakhir yang bertitel Kinanti yang juga jadi titel EP-nya adalah lagu milik mereka.

EP itu dibuka dengan cover lagunya Olive Tree yang berjudul Psycho Girl. Image lagunya Psycho Girl yang cute berlirik sarkas dalam melodi powerpop dibawakan K&P dengan aransemen yang 180 derajat berbeda. Dengan iringan gitar akustik plus seruling dan kecapi yang memberi sentuhan khas sunda (juga terdengar Glockenspiel yang pasti dimainkan oleh Ay), Psycho Girl versi K&P menjadi gelap dan tradisional.

Kemudian, track kedua ditempati oleh lagunya Homogenic yang berjudul Destiny. Irama techno khas Homogenic digantikan oleh mistisnya bebunyian karinding, merdunya gesekan biola, dan denting Glockenspiel yang mendamaikan siapapun yang mendengarnya, apalagi mereka yang di kala sore, duduk-duduk berdua dengan yang dicinta, sambil minum bajigur. Haha.

Kemudian K&P menyuguhi Zsa Zsa Zsu-nya Rock N Roll Mafia di lagu ketiga. Zsa Zsa Zsu yang bertempo cepat dan bersemangat, dengan campur tangan synth dan cocok untuk didengarkan sambil jingkrak-jingkrak total dirombak K&P menjadi lagu yang mendayu-dayu di awal dan ceria saat masuk ke bagian refrain. Vokal Ay dan Sigit juga memberi karakter yang ke-sunda-sundaan pada Zsa Zsa Zsu. Bayangkan, lagu yang full elektronik tiba-tiba di sajikan dalam keminimalisan akustik. Instrumen yang dipakai tidak jauh seperti lagu-lagu sebelumnya, masih tidak jauh dari nuansa etnik.

Lalu di lagu keempat ada Polypanic Room milik Polyester Embassy. Vokal Ay dan melodi gitar di awal lagu begitu menenangkan hati, mengubah citra experimental rock yang ber-noise-noise elektronik menjadi akustik dengan noise dari karinding.

Lagu penutup di EP ini diberi judul Kinanti. Dengan durasi 2 menit 4 detik, Kinanti jadi lagu yang pas untuk menemani saat senja mulai berganti malam. Haha. Geuleuh!

Secara garis besar, menurut saya pribadi, Kinanti ini adalah karya yang unik dari duo vokal berlatar belakang genre musik yang berbeda. Tapi perbedaan itu justru menjadi harmonis kala vokal Pop milik Ay dan dominasi Sigit dalam memainkan musik bernuansa folk tradisional bertemu. Lagu-lagu hasil cover itu mampu menerbitkan senyum karena mau tidak mau saya jadi teringat pada versi aslinya. Dan betapa menjadi lucu musik yang asalnya terdengar bersemangat di telinga tiba-tiba diubah menjadi musik yang lebih enak jika didengarkan sambil duduk di kursi teras saat sore hari sambil menikmati hangatnya bandrek atau bajigur.

Seperti semangat mereka yang ingin membawa pendengar ke Bandung di tahun 1920, Kinanti cocok jadi musik yang menemani sore saat udara Bandung mulai kentara.

Kalau Adhitia Sofyan bikin musik kopi, Katjie & Piering membuat musik bajigur. =)

Karena pas saya search di google lirik Kinanti belum ada, maka dengan modal alat pendengaran bawaan yang performanya sudah mulai dikikis usia, saya selipkan saja lirik Kinanti di sini.

Kinanti
oleh Katjie & Piering

Pelita kemuning kita
Di kala di usainya senja

Oh, semilir meniup sukma
semoga tersalingkan asa

Meluruhkan gulita
Kelabu segera berganti
Kinanti


Sekalian link downloadnya hehe: [ http://www.mediafire.com/?8ct91hx233v9rr7 ]

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*dibuat selama 4 jam sambil bulak-balik memutar si Kinan di Winamp*
[hari ke-20 di bulan April pukul sembilan malam kurang lima menit oleh citra]

Saturday 16 April 2011

Tika, oh Mba Tika...

I heard about her. I've illegally downloaded her album yet kept it untouched for months. Bored of overplayed playlist, I played her songs in my Winamp, and voila! I instantly love her music!

Kartika Jahja, that's the frontperson of Tika and the Dissidents, independent band from Jakarta. She's been in that band as a vocalist and lyricist after riding solo as Tika since 2005. She strengthened her power in industry of music by recruiting three great musicians named the Dissidents and forming her current band. And here they are, Tika and the Dissidents.

Tika and her band has released a studio album entitled "The Headless Songstress" in 2009. The album received positive responses by critics. No wonder. The lyrics are different from her previous solo works in "Frozen Love Songs" (2005). Together with the Dissidents, she talks about social issues, from labour to homosexual. The album holds multiple genre, from waltz to coutry. Those compositions between lyrics and music have provoked me personally.

Being in love with her music, I dig deeper about her personal life and that's when I bumped into her blog in Friendster and Multiply. Reading it intensely, I found that Tika is unique with her witty thoughts she formed into words.

I was devastated knowing that she once played in Coup de Neuf #7 along with Frau, a side-project of Leilani, female musician from Jogjakarta whom I'm in love with too. I didn't get informed about the gigs, so I read the review featuring videos of their in Coup de Neuf's official page.

Tika is a shining diva behind her casual not glamourous outfit with boots and cigarette.

I make a vow, if Tika holds a gigs in Bandung, surely I'll be there, no matter how much it will cost me, I'll be in the front row of the mob, watch her and her retro microphone, sing her songs along.

Mba Tika, I'm looking forward to attending your dark orchestra.


Kartika Jahja. Cou de Neuf #7. Bumi Sangkuriang, May 22nd, 2010.
[photo source]

----------------------------------------------------------------------------------
*with Tika and the Dissidents played on Winamp, I don't have to wait for the night to be insecure, neither do I have to turn off the light to feel the dark*
[april sixteen-one past eleven p.m-citra]

Cognitive Dissonance: Is this what I really want?

Term baru yang tidak sengaja saya temukan kala berselancar di dunia maya. Awalnya, saya sedang buka-buka artikel di wikipedia berkaitan dengan istilah 2 + 2 = 5 (two plus two makes five), salah satu judul lagu Radiohead di Album Studionya yang bertajuk Hail to the Thief. Ternyata term itu adalah slogan yang dipakai oleh George Orwell di novelnya yang berjudul Nineteen Eighty-Four. Di artikel novel itu banyak istilah Orwell yang menjadi vernacular, salah satunya doublethink.

“Doublethink means the power of holding two contradictory beliefs in one's mind simultaneously, and accepting both of them.”

Kata mbah wikipedia, doublethink itu adalah sinonim dari cognitive dissonance. Apa itu? Yuk, cekidot!

Cognitive Dissonance adalah teori dalam bidang psikologi yang dikembangkan oleh Leon Festinger (1957), yang berarti perasaan tidak nyaman yang datang karena ada dua pemikiran yang saling berkontradiksi di pikiran kita pada waktu yang sama.

Manusia memiliki banyak kognisi dalam bentuk yang bermacam-macam. Menurut teori cognitive dissonance, kita cenderung mencari konsistensi di antara kognisi-kognisi itu. Dua kognisi yang tidak saling mempengaruhi disebut Irrelevant, sedangkan dua kognisi menjadi Consonant jika mereka saling mempengaruhi dan cocok satu dan lainnya. Jika terjadi kontradiksi atas dua kognisi dalam waktu yang sama, maka seseorang itu pastilah sedang mengalami Dissonance.

Dissonance ini menimbulkan suatu tensi psikologis tertentu yang tidak mengenakkan. Tensi ini sama seperti perasaan ketika kita lapar. Saat lapar kita tahu, untuk menghilangkannya, kita mencari sesuatu yang bisa kita makan, agar lapar itu berkurang bahkan hilang. Begitupun saat mengalami dissonance (sekarang kita sebut saja disonansi yah), ada tensi yang mendesak kita untuk menguranginya. Tapi sayangnya, mengurangi tensi yang ditimbulkan oleh disonansi ini tidak semudah seperti menghilangkan lapar, karena disonansi ada hubungannya dengan kepercayaan yang kita pegang dan kepercayaan itu tertantang oleh kepercayaan lain yang bertolak belakang.

Contoh:

Saya hanya mau kuliah di kampus yang menyenangkan (Kognisi 1)

Tempat kuliah saya sekarang tidak menyenangkan (Kognisi 2)

Kognisi yang saling bertentangan itu akan menimbulkan disonansi. Untuk meminimalisir tensi yang dihasilkannya, ada tiga cara:

  1. Changing Cognition: mengubah salah satu kognisi yang bertentangan agar menjadi consonant dengan kognisi yang lain. (“Mungkin kuliah di kampus ini memang seperti ini, tidak menyenangkan. Ya sudahlah”).
  2. Adding Cognition: menambahkan satu atau lebih kognisi yang lebih consonant. (“Dengan kuliah, ilmu saya menjadi luas, kenalan jadi banyak, dan lagi kuliah di sini murah dibanding di tempat lain”).
  3. Altering Important: karena kognisi-kognisi itu berhubungan dengan kepentingan pribadi kita, maka salah satu cara mengurangi disonansi antara kognisi itu adalah dengan mengganti kepentingan kita. (“Saya lebih baik berhenti kuliah saja dan pindah ke kampus lain dari pada tidak senang seperti ini”).

Kita ambil contoh disonansi yang sederhana (dalam pengertian saya). Saya merokok. Saya tahu merokok itu tidak baik bagi kesehatan (kognisi 1), namun merokok juga memberikan saya suatu kenikmatan tertentu (kognisi 2). Nah, saya sekarang memiliki dua kognisi yang berkontradiksi satu sama lain. Tapi saya memilih untuk terus merokok karena saya memegang kepercayaan (belief) pada kognisi 2 - merokok dapat memberi saya kenikmatan. Selain itu, tidak hanya merokok saja yang menjadi penyebab rusaknya kesehatan seseorang dan saya percaya itu untuk menekan disonansi yang ada akibat tekanan kognisi 1.

Contoh lain, seseorang membeli mobil dengan harga yang sangat mahal. Kemudian, didapatinya mobil yang ia beli itu tingkat kenyamanannya sama saja dengan mobil-mobil berharga murah. Lalu timbullah disonansi dalam pikirannya. Maka ia mengeliminasi disonansinya dengan berpegang pada kepercayaan bahwa mobil itu hanya untuk perjalanan jarak dekat saja atau pada kepercayaan bahwa mobil itu menawarkan keamanan, fasilitas, dan penampilan yang lebih baik dari mobil-mobil lain. Ia bisa saja menghilangkan disonansi itu dengan membuang mobilnya, tapi, masa sih ada orang yang mau buang mobil mahal yang sudah terlanjur dibelinya? Kita juga pasti mikir dua kali, oh mungkin tidak usah berpikiran seperti itu saja. Haha.

Terjebak dalam disonansi, untuk saya pribadi, memicu diri untuk mengevaluasi kognisi. Terus bertanya-tanya: apakah ini yang sebenarnya saya mau? Iya gitu? Ah, masa? Kalau saya gini, akibatnya gimana? Kalau saya engga gini, gimana? Apa yang saya pentingkan?

Kebetulan, malam ini saya juga sedang mengalami disonansi. Hihi. Curhat.

Oh ya, konsep disonansi ini mengingatkan saya pada teori triapartite division of the psyche-nya Sigmund Freud. Ulasannya berbeda dalam konteks sadar/tidak sadar. Kalau disonansi melibatkan peroses berpikir secara sadar, sedangkan Freud kebanyakan membahas alam bawah sadar kita yang menjadi aspek utama tindakan-tindakan yang kita lakukan. Adakah mereka berhubungan? Oh, saya kurang tahu.

Haha. Wallohualam yah, saya juga harus banyak baca lagi.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel-artikel tentang Cognitive Dissonance di:

[http://www.ithaca.edu/faculty/stephens/cdback.html]

[http://en.wikipedia.org/wiki/Cognitive_dissonance]

[http://tip.psychology.org/festinge.html]

[http://changingminds.org/explanations/theories/cognitive_dissonance.htm]

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

[16 April lebih satu jam tujuh menit]