Saturday 16 April 2011

Cognitive Dissonance: Is this what I really want?

Term baru yang tidak sengaja saya temukan kala berselancar di dunia maya. Awalnya, saya sedang buka-buka artikel di wikipedia berkaitan dengan istilah 2 + 2 = 5 (two plus two makes five), salah satu judul lagu Radiohead di Album Studionya yang bertajuk Hail to the Thief. Ternyata term itu adalah slogan yang dipakai oleh George Orwell di novelnya yang berjudul Nineteen Eighty-Four. Di artikel novel itu banyak istilah Orwell yang menjadi vernacular, salah satunya doublethink.

“Doublethink means the power of holding two contradictory beliefs in one's mind simultaneously, and accepting both of them.”

Kata mbah wikipedia, doublethink itu adalah sinonim dari cognitive dissonance. Apa itu? Yuk, cekidot!

Cognitive Dissonance adalah teori dalam bidang psikologi yang dikembangkan oleh Leon Festinger (1957), yang berarti perasaan tidak nyaman yang datang karena ada dua pemikiran yang saling berkontradiksi di pikiran kita pada waktu yang sama.

Manusia memiliki banyak kognisi dalam bentuk yang bermacam-macam. Menurut teori cognitive dissonance, kita cenderung mencari konsistensi di antara kognisi-kognisi itu. Dua kognisi yang tidak saling mempengaruhi disebut Irrelevant, sedangkan dua kognisi menjadi Consonant jika mereka saling mempengaruhi dan cocok satu dan lainnya. Jika terjadi kontradiksi atas dua kognisi dalam waktu yang sama, maka seseorang itu pastilah sedang mengalami Dissonance.

Dissonance ini menimbulkan suatu tensi psikologis tertentu yang tidak mengenakkan. Tensi ini sama seperti perasaan ketika kita lapar. Saat lapar kita tahu, untuk menghilangkannya, kita mencari sesuatu yang bisa kita makan, agar lapar itu berkurang bahkan hilang. Begitupun saat mengalami dissonance (sekarang kita sebut saja disonansi yah), ada tensi yang mendesak kita untuk menguranginya. Tapi sayangnya, mengurangi tensi yang ditimbulkan oleh disonansi ini tidak semudah seperti menghilangkan lapar, karena disonansi ada hubungannya dengan kepercayaan yang kita pegang dan kepercayaan itu tertantang oleh kepercayaan lain yang bertolak belakang.

Contoh:

Saya hanya mau kuliah di kampus yang menyenangkan (Kognisi 1)

Tempat kuliah saya sekarang tidak menyenangkan (Kognisi 2)

Kognisi yang saling bertentangan itu akan menimbulkan disonansi. Untuk meminimalisir tensi yang dihasilkannya, ada tiga cara:

  1. Changing Cognition: mengubah salah satu kognisi yang bertentangan agar menjadi consonant dengan kognisi yang lain. (“Mungkin kuliah di kampus ini memang seperti ini, tidak menyenangkan. Ya sudahlah”).
  2. Adding Cognition: menambahkan satu atau lebih kognisi yang lebih consonant. (“Dengan kuliah, ilmu saya menjadi luas, kenalan jadi banyak, dan lagi kuliah di sini murah dibanding di tempat lain”).
  3. Altering Important: karena kognisi-kognisi itu berhubungan dengan kepentingan pribadi kita, maka salah satu cara mengurangi disonansi antara kognisi itu adalah dengan mengganti kepentingan kita. (“Saya lebih baik berhenti kuliah saja dan pindah ke kampus lain dari pada tidak senang seperti ini”).

Kita ambil contoh disonansi yang sederhana (dalam pengertian saya). Saya merokok. Saya tahu merokok itu tidak baik bagi kesehatan (kognisi 1), namun merokok juga memberikan saya suatu kenikmatan tertentu (kognisi 2). Nah, saya sekarang memiliki dua kognisi yang berkontradiksi satu sama lain. Tapi saya memilih untuk terus merokok karena saya memegang kepercayaan (belief) pada kognisi 2 - merokok dapat memberi saya kenikmatan. Selain itu, tidak hanya merokok saja yang menjadi penyebab rusaknya kesehatan seseorang dan saya percaya itu untuk menekan disonansi yang ada akibat tekanan kognisi 1.

Contoh lain, seseorang membeli mobil dengan harga yang sangat mahal. Kemudian, didapatinya mobil yang ia beli itu tingkat kenyamanannya sama saja dengan mobil-mobil berharga murah. Lalu timbullah disonansi dalam pikirannya. Maka ia mengeliminasi disonansinya dengan berpegang pada kepercayaan bahwa mobil itu hanya untuk perjalanan jarak dekat saja atau pada kepercayaan bahwa mobil itu menawarkan keamanan, fasilitas, dan penampilan yang lebih baik dari mobil-mobil lain. Ia bisa saja menghilangkan disonansi itu dengan membuang mobilnya, tapi, masa sih ada orang yang mau buang mobil mahal yang sudah terlanjur dibelinya? Kita juga pasti mikir dua kali, oh mungkin tidak usah berpikiran seperti itu saja. Haha.

Terjebak dalam disonansi, untuk saya pribadi, memicu diri untuk mengevaluasi kognisi. Terus bertanya-tanya: apakah ini yang sebenarnya saya mau? Iya gitu? Ah, masa? Kalau saya gini, akibatnya gimana? Kalau saya engga gini, gimana? Apa yang saya pentingkan?

Kebetulan, malam ini saya juga sedang mengalami disonansi. Hihi. Curhat.

Oh ya, konsep disonansi ini mengingatkan saya pada teori triapartite division of the psyche-nya Sigmund Freud. Ulasannya berbeda dalam konteks sadar/tidak sadar. Kalau disonansi melibatkan peroses berpikir secara sadar, sedangkan Freud kebanyakan membahas alam bawah sadar kita yang menjadi aspek utama tindakan-tindakan yang kita lakukan. Adakah mereka berhubungan? Oh, saya kurang tahu.

Haha. Wallohualam yah, saya juga harus banyak baca lagi.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel-artikel tentang Cognitive Dissonance di:

[http://www.ithaca.edu/faculty/stephens/cdback.html]

[http://en.wikipedia.org/wiki/Cognitive_dissonance]

[http://tip.psychology.org/festinge.html]

[http://changingminds.org/explanations/theories/cognitive_dissonance.htm]

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

[16 April lebih satu jam tujuh menit]


2 comments:

  1. I like your writing style and the thing that you write here.

    ReplyDelete
  2. lagi baca ini http://www.bbc.com/future/story/20130312-why-we-act-against-our-beliefs/1 nyasar kesini

    ReplyDelete